Hans Christian Andersen; Hidup Abadi, Sumber Idiom, Sindiran Politik untuk Kerajaan, dan Penghargaan dari Raja
Jika tulisan saya sebelumnya berlatar beberapa tahun setelah Perang Dunia Pertama, tulisan kali ini saya mundur satu abad lebih lampau. Tepatnya tahun 1805 dan 1835–1837 di Odense dan Copenhagen, Denmark.
Jika nama Hans Christian Andersen — sepertinya — belum akrab di telinga kebanyakan masyarakat Indonesia, seharusnya judul cerita seperti “Thumbelina”, “The Little Mermaid”, “The Ugly Duckling”, dan “The Snow Queen” adalah judul cerita yang sudah tidak asing. Judul-judul yang saya sebutkan sebelumnya hanya empat dari 168 judul dongeng yang ditulis oleh Andersen. Selain menulis dongeng, Andersen juga menulis beberapa drama, novel, dan puisi.
Pada tanggal 2 April 1805 di Odense, Denmark, penulis dan penyair terkenal dari judul-judul yang saya sebutkan sebelumnya lahir. Sejak kecil, Andersen sering didongengi cerita-cerita Arabian Nights oleh ayahnya. Ayahnya meninggal tahun 1816 dan sejak saat itu, Andersen bekerja keras untuk kehidupannya sendiri. Karirnya di dunia sastra dimulai ketika ia memutuskan untuk pindah ke Copenhagen dan menjadi seorang aktor di Royal Danish Theatre.
Pada awalnya, Andersen memiliki suara sopran yang sangat bagus. Akan tetapi, tidak lama suaranya menjadi berubah dan seorang kolega menyarankan bahwa sebaiknya Andersen menjadi penyair. Sejak saat itu, Andersen mulai berfokus pada karir menulisnya.
Hingga pada bulan Maret tahun 1835, ia mempublikasikan empat dongeng pertamanya yaitu “The Tinder-Box”, “Little Claus and Big Claus”, “The Princess and The Pea”, dan “Little Ida’s Flower”. Masih di tahun yang sama pada tanggal 16 Desember, Andersen menerbitkan kembali tiga dongeng lainnya yaitu “Thumbelina”, “The Saucy Boy”, dan “The Travelling Companion”.
Saat ini, masih banyak buku-buku dongeng asli Hans Christian Andersen yang diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris — karena beberapa sudah ada yang diinterpretasikan ulang dan terkadang sindiran dan kelakar yang ingin Andersen sampaikan jadi berbeda.
Yang akan saya garisbawahi pada tulisannya ini adalah poin-poin yang sudah saya sebutkan pada judul.
“I have started some ‘Fairy Tales Told for Children’ and believe I have succeeded. I have told a couple of tales which as a child I was happy about, and which I do not believe are known, and have written them exactly the way I would tell them to a child”
- Hans Christian Andersen dalam suratnya kepada Bernhard Severin Ingemann yang bertanggal Februari 1835.
“I have also written some fairy tales for children; Ørsted says about them that if The Improvisatore makes me famous then these will make me immortal, for they are the most perfect things I have written; but I myself do not think so. They [the fairy tales] will be published in April, and people will say: the work of my immortality! Of course I shan’t enjoy the experience in this world.”
- Hans Christian Andersen dalam suratnya kepada putri dari Admiral Wulff, Henriette, yang bertanggal 26 Maret 1835.
Saya sedikit merinding ketika pertama membaca kalimat tentang hidup abadi yang ditulis Andersen. Karena apa yang ia katakan benar-benar terkabul. Hari ini, 185 tahun sejak pertama kali The Tinder-Box diterbitkan dan karya-karyanya masih dipelajari dan dijadikan referensi oleh banyak penulis, salah satunya — yang sangat saya curigai — adalah J.K Rowling yang terinspirasi dari dongeng Andersen yang berujudul “The Philosopher Stone”. Ya, Nicholas Flamel yang diceritakan di buku pertama Harry Potter dan film kedua Fantastic Beast kemungkinan besar berasal dari sini.
Bahkan, salah satu cerita dongengnya ada yang sampai dijadikan sebuah idiom. Judul ceritanya dalam Bahasa Inggris adalah “The Emperor’s New Suit”. Sepertinya kalian akan lebih paham jika membaca ceritanya langsung tapi secara garis besar, plot ceritanya adalah sebagai berikut:
Sebuah kota dipimpin oleh seorang raja yang sangat terobsesi pada penampilannya. Setiap jam, yang ia pikirkan hanya bagaimana penampilannya. Ia bahkan punya semua pakaian untuk setiap jam untuk setiap kegiatan dalam satu hari.
Hingga suatu hari dua orang penipu datang ke kerajaan dan berkata bahwa mereka bisa membuat pakaian yang sangat indah dan hanya orang yang tidak kompeten dan tidak layak akan posisi pekerjaannya yang tidak dapat melihat pakaian tersebut.
Raja berpikir ia ingin membuat pakaian itu dan sekaligus sebagai ajang penyaringan para menteri dan bawahannya yang mana saja yang sudah sesuai dan belum. Mana yang harus dijaga, mana yang harus disingkirkan.
Maka di sebuah ruangan yang disediakan untuk dua orang penenun dan penjahit pakaian itu, Raja menyuruh semua bawahannya untuk masuk satu per satu dan apakah mereka bisa melihatnya apa tidak.
Di dalam ruangan di mana kedua penipu itu berpura-pura menenun, mereka bertanya, “Bagus bukan pakaian baru untuk Raja yang sedang kami buat ini?”
Sebenarnya, semua orang yang masuk ke ruangan tersebut tidak dapat melihat apa-apa. Akan tetapi mereka takut kalau mereka berkata bahwa mereka tidak melihat apa-apa mereka akan dikeluarkan dari posisi di pekerjaan mereka karena mereka bukan orang yang pantas.
Maka ketika semua sudah melihat — bahkan Raja sendiri — Raja melepaskan semua pakaiannya dan dua penipu berpura-pura mengenakan pakaian tersebut kepada raja.
Hari di mana pakaian tersebut selesai, Raja mengadakan arak-arakan ke kota dengan para menteri dan bawahan yang mengikuti. Hingga seorang anak kecil berteriak ke kerumunan arak-arakan raja, “Tapi dia tidak pakai apa-apa!”
Karena ceritanya yang seperti itu dan diinterpretasi oleh banyak ahli literasi, judul dari cerita di atas digunakan sebagai ungkapan atau idiom.
Ungkapan/idiom dalam Bahasa Inggris “The Emperor’s New Suit” mengacu pada sesuatu yang diterima secara luas sebagai benar atau yang diakui sebagai hal yang patut dipuji, karena keengganan masyarakat umum untuk mengkritiknya atau dianggap bertentangan dengan pendapat umum.
Ungkapan tersebut telah menjadi ungkapan tentang kekeliruan logis (logical fallacy). Cerita ini juga dapat dijelaskan dengan ketidaktahuan pluralistic (pluralistic ignorance). Ceritanya adalah tentang situasi di mana “tidak ada yang percaya, tetapi semua orang percaya bahwa semua orang percaya. Atau sebagai alternatif, semua orang tidak tahu apakah sang Raja mengenakan pakaian atau tidak, tetapi percaya bahwa semua orang tidak bodoh.”
Untuk lebih jelas perihal ungkapan “The Emperor’s New Suit” kalian bisa membaca juga tentang “Three Men Make A Tiger” dan “Asch Conformity Experiments”.
Cerita “The Emperor’s New Suit” juga disebut oleh para kritikus sebagai sindiran terhadap kehidupan masyarakat borjuis dan pemerintahan monarki Denmark saat itu.
Hollis Robbins, dalam “The Emperor’s New Critique” (2003), berpendapat bahwa cerita itu sendiri sangat transparan sehingga hanya ada sedikit kebutuhan untuk pengawasan kritis. Robbins juga berpendapat bahwa cerita Andersen cukup jelas melatih empat kontroversi kontemporer: lembaga pelayanan sipil meritokratis, penilaian tenaga kerja, perluasan kekuatan demokrasi, dan penilaian seni. Robbins menyimpulkan bahwa daya tarik cerita itu terletak pada resolusi menggoda dari konflik oleh bocah yang mengatakan kebenaran di akhir cerita.
Andersen menyuarakan rasa tidak hormatnya melalui cerita di atas. Oh ya, Andersen bukan dari golongan masyarakat dengan ekonomi yang baik sejak kecil. Jadi, menurut saya, cerita itu memang berasal dari keresahan pribadinya.
Tapi, sindiran politik Andersen yang ia sampaikan melalui cerita “The Emperor’s New Suit” dan “The Swineherd” malah membawanya ke hadapan Raja dan ia dianugerahi cincin rubi dan berlian oleh Raja setelah publikasi dua cerita itu. Sejak saat itu, ia tidak pernah lagi menyuarakan sindiran kepada kerajaan. Malahan, setelah itu Andersen menulis “The Ugly Duckling”, sebuah kisah tentang seekor burung yang lahir di henyard yang, setelah kesengsaraan seumur hidup, matang menjadi angsa dan menjadi salah satu dari burung-burung kerajaan.
Referensi:
Prince, p. 210
Graves, Joseph L. (2003). The Emperor’s New Clothes: Biological Theories of Race at the Millennium. p. 1.
Robbins, Hollis (Autumn 2003). “The Emperor’s New Critique”. New Literary History. 34 (4). Retrieved 1 March 2013.
Zellner, William W.; Petrowsky, Marc (1998). Sects, Cults, and Spiritual Communities: A Sociological Analysis. p. 13.
Note: saya belum baca semua dongeng Andersen. Ini masih belum sepersepuluh dari semua dongeng beliau tapi kepala saya sudah seperti mau meledak jadi saya buat tulisan ini.