Mempertanyakan Seperti Apa Seharusnya Karya yang Orisinal Melalui Psyche , Beauty, Beast, Little Mermaid, dan Ponyo
Sekitar delapan atau sembilan tahun yang lalu — saya lupa tepatnya kapan — sejak saya mulai menulis cerita pendek untuk lomba dan senang-senang, tuntutan untuk membuat karya yang orisinal adalah satu tuntutan yang sudah menjadi syarat wajib dan tentunya sangat membebani keluwesan saya dalam menulis. Hantu berupa kata-kata “karya harus orisinal” ternyata malah semakin jelas ketika saya masuk kuliah. Jujur saja, saya sendiri kerap merasa ngeri membayangkan kalimat “bekerja di dunia industri kreatif” ketika selama sampai saya lulus SMA, kemampuan menggambar saya paling banter di bagian amati dan tiru, modifikasi? Masih terlalu mewah buat otak dan tangan saya waktu itu.
Sekitar delapan atau sembilan tahun kemudian, yaitu beberapa bulan yang lalu, saya menyadari beberapa fakta yang membuat saya semakin bertanya-tanya, “Sebenarnya, karya orisinal itu karya yang seperti apa sih?” Dan meskipun saya bukan umat kristiani, setahu saya, di Injil juga tertulis sebuah ayat yang berbunyi, “there’s nothing new under the sun.”
Fakta-fakta yang membuat saya mempertanyakan pertanyaan itu adalah tentang keterkaitan empat buah karya sastra dan film yaitu “Psyche and Eros”, “The Beauty and The Beast”, “The Little Mermaid”, dan “Ponyo on The Cliff by The Sea”. Lho, emang mereka semua berkaitan, ya? Kan, jarak terbit nya juga beda-beda jauh? Ya, memang. Bukan cuma dari segi waktu penerbitan ceritanya, dari jenis cerita saja mereka sudah berbeda.
Singkatnya, Psyche dan Eros adalah cerita mitologi Yunani yang bercerita tentang bagaimana Psyche yang seorang manusia menjadi istri dari Eros yang seorang dewa. Meskipun cuma manusia biasa yang lahir dari seorang raja dan ratu di sebuah kerajaan di Yunani, Psyche diberkahi kecantikan yang sangat tidak masuk akal. Saking cantiknya, orang-orang mulai lupa untuk pergi ke kuil Aphrodite — the goddess of love and beauty — dan malah memuji-muji dan memuja Psyche, seorang manusia fana. Karena tidak suka akan hal itu, Aphrodite (Afrodit) meminta bantuan Eros atau Cupid untuk membuat Psyche jatuh cinta dengan makhluk paling mengerikan di muka bumi.
Ada dua versi tentang hubungan Eros dan Aphodite. Yang pertama, ada versi yang beranggapan bahwa Eros adalah anak dari Aphrodite. Ada juga yang beranggapan bahwa hubungan mereka adalah hubungan romantis seperti suami-istri. Saya pribadi lebih nyaman menganggap Eros adalah anak laki-laki dari Aphrodite.
Tapi, sayangnya Eros malah menusukkan salah satu panahnya pada dirinya sendiri ketika ia melihat Psyche yang amat cantik. Ia tidak mau melihat makhluk secantik Psyche jatuh hati pada manusia buruk rupa. Semua yang dilakukannya saat itu tanpa sepengetahuan Aphrodite. Akibatnya, selain Psyche jadi tidak bisa jatuh cinta pada siapa pun, tidak ada laki-laki yang benar-benar berjuang untuk menjadi suami Psyche. Mereka semua cuma adoring Psyche.
Karena merasa resah anak bungsunya belum juga menikah, sedangkan dua kakak Psyche sudah menikah, ayah Psyche pergi ke Oracle of Delphi untuk meminta petunjuk apa yang harus dilakukannya agar anaknya bungsunya mendapatkan suami. Ramalan menurut Oracle of Delphi berkata bahwa Psyche harus dibawa ke ujung tebing menggunakan gaun serba hitam. Nanti, sosok siluman berekor ular dan bersayap akan menjemputnya dan menjadikan Psyche sebagai istrinya.
Karena keterbatasan tempat, saya harap teman-teman mau mencari tahu cerita lengkap soal Psyche di internet. Cukup banyak dan mudah diakses. Soal perbedaan versi tak perlu jadi soal. Ini cerita mitologi dan perbedaan versi merupakan hal yang sangat wajar.
Selanjutnya, “The Beauty and The Beast”. Harusnya cerita ini sudah kita hafal di luar kepala. Baik animasi maupun film yang diperankan oleh manusia, Disney sudah membuat film yang diadaptasi dari dongeng “The Beauty and The Beast” karya Gabrielle-Suzanne Barbot de Villeneuve. Secara resmi, sebuah artikel di Wikipedia menyebutkan bahwa cerita Psyche dan Eros menginspirasi penciptaan cerita “The Beauty and The Beast”. Kalau kata Wikipedia membuat kalian ragu-ragu, Rick Riordan juga menulis di bukunya “Percy Jackson and The Greek Heroes” kalau argument tersebut memang benar; cerita Si Cantik dan Buruk Rupa memang terinspirasi dari cerita Psyche dan Eros. Bagaimana bisa?
Sebenarnya, hubungan dua cerita itu kalau dijelaskan secara serius, bisa menghabiskan berlembar-lembar kertas ukruan A4. Baik dari segi plot, norma-norma sosial, sampai pesan moral yang ingin disampaikan. Maka dari itu, bahasan untuk bagian mana yang menyebabkan adanya argument kalau dongeng “The Beauty and The Beast” itu terinspirasi dari cerita Psyche dan Eros akan saya simpan untuk nanti. Entah untuk bahan tulisan selanjutnya di sini atau sebagai bahan obrolan.
Penggemar film-film garapan studio Ghibli tentu tidak asing dengan film animasi “Ponyo on The Cliff by The Sea”. Kisah dua anak kecil yang sangat menggemaskan. Sejujurnya, saya mulai menyadari adanya keterkaitan antara keempat cerita ini berawal dari sini, ketika saya menonton Ponyo.
Ada satu adegan yang membuat saya sadar, yaitu ketika ayahnya Ponyo, Fujimoto, sedang berdialog dengan ibunda Ponyo, Granmamare. Di sana, Fujimoto berkata kurang lebih seperti ini,
“Tapi mereka masih kecil. Tahu apa mereka soal cinta? Bagaimana jika setelah Ponyo benar-benar berubah menjadi manusia cintanya ternyata bertepuk sebelah tangan dan berubah menjadi buih di lautan?”
Pertama, berubah menjadi manusia. Kedua, cinta bertepuk sebelah tangan. Ketiga, yang paling kuat adalah kalimat “berubah menjadi buih di lautan”. Kalimat itu, kalimat ikonik dari ending dongeng “The Little Mermaid” karya Hans Christian Andersen.
Di akhir cerita, karena cintanya bertepuk sebelah tangan, Putri Duyung Kecil akhirnya menceburkan dirinya ke laut dan berubah menjadi buih di lautan. Cerita tersebut merupakan kebalikan dari interpretasi arti nama Aphrodite, aphrós (ἀφρός), yaitu “risen from the sea-foam”.
Dari sini, benang nya sudah kelihatan. Film animasi “Ponyo on The Cliff by The Sea” terinspirasi dari dongeng “The Little Mermaid”. Dongeng “The Little Mermaid” merupakan kebalikan dari arti nama seorang dewi dalam mitologi Yunani, Aphrodite, yaitu “risen from the sea-foam”. Cerita mitologi Psyche dan Eros menginspirasi dongeng “The Beauty and The Beast” yang di dalam ceritanya, Aphrodite juga terlibat.
Itu baru contoh dari empat cerita. Ada banyak sekali contoh lain. Saya juga yakin pembaca di sini tahu lebih banyak dari saya. Contoh lain yang bisa saya berikan adalah beberapa adegan di film Inception karya Christopher Nolan tahun 2010 sangat mirip dengan beberapa adegan dari film Paprika karya Satoshi Kon tahun 2006.
Dari kesimpulan benang merah hubungan beberapa cerita di atas, saya menjadi semakin bertanya-tanya, “Jadi, sebenarnya karya orisinal itu karya yang seperti apa?” Apalagi kalau saya ingat kalimat there’s nothing new under the sun. Ini semua membawa saya pada satu kebiasaan ketika saya menulis cerita. Jika saya menulis dan saya merasa bahwa tulisan tersebut merupakan karya asli saya, saya jadi bertanya-tanya apakah justru wawasan saya yang kurang luas untuk tahu bahwa di luar sana sebelumnya sudah ada karya seperti yang sudah saya buat?