Queen Mary I of England (Mary Tudor); Tirani, Obsesi Agama, dan Asal-Usul Cerita Bloody Mary
Bagi beberapa orang, mendengar kata Bloody Mary akan mengingatkan mereka pada sebuah merek koktail. Sebagian yang lain mengenal Bloody Mary sebagai cerita rakyat berhantu. Namun menurut Debra Ronca dalam artikelnya mengenai asal usul cerita Bloody Mary, tidak ada satupun orang yang tahu pasti sejak kapan orang mengenal cerita ini.
Beberapa sumber menyebutkan bahwa cerita tentang Bloody Mary diketahui mulai populer sejak tahun 1970an. Akan tetapi, ilustrasi mengenai ritual pemanggilan Bloody Mary dicetak dalam sebuah kartu ucapan perayaan Halloween pada awal abad 20.
Di dalam kamar yang gelap atau temaram, hanya dengan penerangan cahaya lilin, orang yang akan bermain ritual pemanggilan Bloody Mary akan berdiri di depan sebuah cermin dan memanggil namanya sebanyak tiga atau tiga belas kali — tergantung dari versi mana cerita yang dipercaya. Permainan tersebut diharapkan dapat memunculkan bayangan masa depan mengenai pasangan hidup orang yang memainkan permainan ini. Itu kalau beruntung. Kalau sial, sosok yang akan kita lihat di dalam cermin bisa jadi Gim Reaper.
Meskipun tidak ada yang tahu pasti sejak kapan orang mengenal cerita tentang Bloody Mary, sudah banyak sumber yang merujuk asal cerita Bloody Mary pada kekejaman pemerintahan Ratu Mary I (Mary Tudor) yang menjadi Ratu Inggris sejak July 1553 sampai akhir hayatnya pada 17 November 1558.
Ngomong-ngomong, beliau masuk ke dalam daftar Raja dan Ratu paling kejam sepanjang sejarah. Padahal dia cuma memerintah selama lima tahun.
Singkatnya, kekejamannya yang dilakukan Mary adalah membakar hidup-hidup ratusan penganut agama Protestan selama masa pemerintahannya. Tidak pandang bulu. Anak-anak, ibu hamil. When she said, “No mercy,” she really meant it. Karena kekejamannya itu, ia mendapat julukan Bloody Mary.
Tapi, kalau melihat kehidupan dan latar belakang mengapa Mary bisa sampai melakukan hal seperti itu, saya merasa sedikit bersimpati. Toh, rasanya aneh aja nggak sih kalau ada orang lahir pas sudah dewasa nggak ada angin nggak ada hujan, “Wah, cuaca hari ini cerah banget! Bakar orang Protestan enak kali ya?”
Kurang kerjaan. Bikin nama jelek di buku sejarah aja.
Ada banyak sumber yang menceritakan kehidupan Mary Tudor. Saya mau coba ceritakan sesingkat mungkin tanpa mengurangi peristiwa-peristiwa penting.
Mary berasal dari House Tudor di Inggris (England, bukan UK). Ia lahir pada 18 Februari 1516. Saat itu, Inggris dipimpin oleh ayahnya, Raja Henry VIII. Ibunya adalah Putri Catherine dari Aragon, Spanyol. Mary mendapatkan kasih sayang penuh dari ayah, ibunya, dan rakyat Inggris. Catherine bahkan memberikan Mary pelajaran Bahasa Latin dan ilmu lain agar ia dapat sejajar dengan pengetahun para laki-laki saat itu.
Masalahnya cuma satu: Mary seorang perempuan.
Saat itu, agama resmi masyarakat Inggris masih menganut ajaran Katolik Roma. Saat itu juga, tidak punya anak laki-laki bagi orang yang memiliki posisi penting bukanlah hal yang membuat hati tenang. Raja Henry VIII takut kalau kekuasaannya jatuh ke tangan yang bukan darah dagingnya. Maka ia berusaha keras untuk mendapat anak laki-laki.
Ketika Mary berusia Sembilan tahun pada 1525, Henry yang sudah sangat tidak sabar, memutuskan untuk menikah kembali dengan lady-in-waiting istrinya sendiri, Anne Boleyn — setelah berselingkuh sebelumnya dengan wanita lain.
Kalau ada yang bilang, “Ah, banyak kok orang yang orangtuanya cerai tapi nggak sampe tuh kepikiran bunuh orang secara massal.”
Mohon maaf. Lima abad yang lalu, perceraian tidak se-kasual saat ini. Apalagi buat royal family. Yang bikin perceraian ini bikin jungkir balik dunia Mary tuh gara-gara si Henry itu tuh aneh banget. Tiba-tiba, dia nggak mau mengakui pernihakan dia sama Catherine dan menganggap kalau Mary juga bukan anak sahnya. Yang paling berdampak buat orang banyak, si Henry ini mau memisahkan gereja kerajaan Inggris dari gereja Katolik Roma jadi Protestan.
Pernikahan Henry dan Anne pada akhirnya dikaruniai seorang anak. Perempuan. Lagi. Anak perempuan ini kita kenal kemudian sebagai Ratu Elizabeth I.
Semua perhatian dan kasih sayang yang didapat Mary benar-benar hilang. Semua perhatian tercurah pada Elizabeth. Bahkan di istana, Mary jadi berperan sebagai pengasuh Elizabeth, bukan putri kerajaan yang lebih tua.
Ketika bercerai dan pernikahannya tidak diakui, Catherine kembali ke Aragon. Mary tidak diperbolehkan untuk berkunjung menemui ibunya. Beberapa tahun setelah perceraian Catherine dengan Henry, Cathrine meninggal dunia.
Selama masa remaja, kesehatan fisik Mary juga tidak bisa dibilang bagus. Mary sering mengalami kesakitan luar biasa akibat endometriosis dan dysmenorrhea — sebuah penyakit yang berhubungan dengan menstruasi — yang dideritanya. Dokter atau ahli kesehatan kerajaan saat itu selalu menganggap apa yang diderita Mary adalah “hal biasa”. Kebayang nggak sih gimana sedihnya Mary? Udah jadi nggak dianggap sama ayah sendiri, ibunya meninggal, sakit nggak diurus bener-bener. Ditambah lagi, Henry udah beneran misahin gereja Inggris dan sekarang agama yang berlaku di sana itu agama Protestan. Sedangkan kepercayaan Katolik Mary masih kental banget. Mary selalu merasa berkhianat atas kepercayaan dia sendiri.
Mary menikah dengan Philip II dari Spanyol. Dalam catatan sejarah, dikatakan Mary sangat menyayangi suaminya. Tapi tidak ada catatan mengenai bagaimana perasaan Philip pada Mary. Hingga akhirnya Philip mengakui bahwa ia menikahi Mary karena urusan politik. Mary yang sudah merasa dibuang oleh ayahnya, ditinggal mati ibunya, kini harus merasakan cintanya bertepuk sebelah tangan.
Masih penasaran buat dapet anak perempuan, Henry nikah lagi, nikah dulu, nikah terus. Eh. Beda ya?
Setelah enam kali menikah, akhirnya Henry VIII dikaruniai anak laki-laki. Di usianya yang ke sembilan tahun, Henry meninggal dunia dan anak laki-laki itu memerintah Inggris dengan gelar Raja Edward VI. Pemerintahan Edward juga tidak bertahan lama karena ia sakit-sakitan dan meninggal di usia 15 tahun.
Sebelum menghembuskan nafas terakhir, Edward berpesan agar pemerintahan selanjutnya dilanjutkan oleh sepupunya, Lady Jane Gray karena ia tidak mau pemerintahan jatuh ke anak Henry lainnya yang paling tua, Mary, yang beragama Katolik. Sayangnya, Lady Jane Gray harus menyandang nama Ratu Sembilan Hari dalam sejarah karena kudeta yang dilakukan pendukung Mary Tudor sebagai pewaris takhta kerajaan yang sah dan meninggal saat itu juga.
Dimulailah tirani pemerintahan Mary tanpa disadari para pendukungnya.
Setelah menduduki takhta, ia merasa itu adalah waktu yang tepat untuk mengembalikan Inggris ke ajaran Katolik seperti sebelumnya. Mungkin — mungkin ya — ide Mary buat menghukum mati ratusan orang beragama Protestan saat itu termasuk ke dalam bentuk protesnya akan kesemena-menaan tindakan ayahnya yang membuat hidupnya benar-benar berantakan; dibuang dari kerajaan, sakit fisik yang tidak ditanggapi secara serius, depresi, dan menikah di usia tua karena ayahnya terlalu sibuk mencari istri baru untuk menghasilkan anak laki-laki.
Selama pemerintahan dan pernikahannya, Mary tidak melahirkan satu pun anak. Ia meninggal dunia setelah lima tahun memerintah. Selanjutnya, pemerintahan Inggris dipegang oleh adik tirinya, Ratu Elizabeth I.