Ucapan Terima Kasih yang Sangat Tulus untuk Jose Miguel Covarrubias dan Rosa Rolando

Vini
5 min readJun 24, 2020

--

Source: http://strawberige.blogspot.com/2010/07/miguel-rosa-covarrubias.html

Dua belas tahun setelah Perang Besar (WWI) usai pada 11 November 1918, keadaan berbagai aspek kehidupan perlahan kembali membaik. Meski sepertinya tidak sepenuhnya. Termasuk pariwisata. Jose Miguel Covarrubias dan Rosa Rolando yang baru saja melangsungkan pernikahan pada 1930, mendengar bisik-bisik tetangga mengenai sebuah pulau surgawi yang terletak di Hinda Belanda.

“Mas Miguel, saya abis liburan ke sana juga lho. Mas Miguel enggak ada rencana mau ikutan ke sana apa? Enak banget lho pokoknya kebalikannya New York banget deh!! Cocok banget buat bulan madu sama Mbak Rosa.” Kurang lebih, seperti itu rekomendasi relasi Miguel Covarrubias dalam lingkaran pertemanan sesama seniman dan antropolog yang merekomendasikan pulau surgawi di Hindia Belanda.

Informasi yang diperoleh Miguel Covarrubias tentang pulau surgawi itu hanya sebatas gadis-gadis berkulit cokelat dengan buah dada yang bulat nan indah, deretan pohon kelapa, ombak pantai, dan segala hal romantis lainnya mengenai surga tropis. Hal yang wajar karena di tahun itu, orang yang memiliki kesempatan untuk bisa berkunjung atau pergi berlibur ke pulau surgawi itu masih sedikit sekali. Setelah berunding, keduanya sepakat untuk menghabiskan bulan madu di pulau surgawi itu selama tiga bulan.

Merasa sangat jatuh cinta pada pulau surgawi yang disebut juga sebagai pulau seribu pura, pasangan illustrator-antropolog-penulis dan fotografer itu memutuskan untuk kembali ke pulau tersebut tahun 1933. Ketika kembali ke pulau yang sejak saat itu juga sudah dikenal dengan nama Pulau Bali, Miguel sedikit terkejut karena sudah cukup banyak orang berkunjung ke Bali dan mengetahui perihal Bali.

Perjalanan kedua ke Bali, Miguel dan Rosa menetap lebih lama karena di saat itu, Miguel berniat untuk mengabadikan perjalanannya dalam sebuah buku. Buku tersebut berjudul Island of Bali dan berhasil diterbitkan tahun 1937. Sampai saat ini, buku tersebut masih dijadikan sebagai sumber bacaan pokok bagi para mahasiswa sosiologi maupun antropologi yang ingin mendalami segala hal perihal Bali era pra-kemerdekaan.

Saya sendiri suka sekali dengan buku Island of Bali. Saya seperti sedang membaca catatan Ging Freecs ketika ia menemukan situs kebudayaan yang sebelumnya tidak terjamah oleh siapapun. Di buku itu diceritakan tentang bagaimana Miguel Covarrubias dan Rosa hidup membaur dengan masyarakat Bali mulai dari Pangeran Bali sampai rakyat jelata dari kasta yang rendah untuk benar-benar mendapatkan segala informasi dan pemahaman tentang Bali. Hal itu terlihat dari bagaimana ia menyampaikan nilai-nilai kearifan lokal masyarakat Bali yang sebelumnya sama sekali belum pernah saya dengar.

Tapi yang paling saya suka dari buku tersebut adalah karena buku tersebut membuat saya ingin memperdalam pengetahuan dan memperluas wawasan mengenai mitologi tradisional Nusantara. Karena sejak pertama kali membaca perihal Alexander Yang Agung (Alexander The Great) dan Golem di trilogi Bartimaeus karya Jonathan Stroud tahun 2013 silam, saya mulai penasaran dan menaruh perhatian pada sejarah dan mitologi. Tapi, sampai akhir tahun 2019, sumber bacaan saya berputar-putar di mitologi Yunani, Mesir, Nordik, dan sejarah Nusantara secara umum yang saya baca dari buku Nusantara-Sejarah Indonesia karya M. Vlekke (1961).

Saya pernah membaca sekilas perihal mitologi tradisional Jawa akan tetapi saya tidak tahu bahwa mitologi tradisional Nusantara tidak kalah menyenangkan untuk diikuti dan dipelajari.

“At the bottom of everything there is magnetic iron, but in the beginning it was nothing, all was emptiness; there was only space. Before there were the heavens, there was no eart, there was no sky. Through meditation, the world serpent Antaboga created the turtle Bedawang, on whom lie coiled two snakes as the foundation of the World. On the world turtle rest a lid, the Black Stone. There is no sun, there is no moon, there is no night in the cave below (the underside of the stone); this is the underworld, whose gods are the male Batara Kala and the female Setesuyara. There lives also the great serpent Basuki.

Antaboga
Bedawang

Kala created the light and Mother Earth, over which extends a layer of water. Over this again are consecutive domes or skies, high and low; one of mud (which dried to become the earth and the mountains); then the empty middle sky (the atmosphere), where Iswara dwells; above this is the floating sky, the clouds, where Semara sits, the god of love. Beyond that follows the ‘dark’ (blue) sky with the sun and the moon, the home of Surya; this is why they are above the clouds. Next is the Perfumed Sky, beautiful and full of rare flowers, where live the bird Tjak, whose face is like a human face, the serpent Taksaka, who has legs and wings, and the awan snakes, the falling stars. Still higher in the sky gringsing wayang, the ‘flaming heaven of the ancestors’. And over all the skies live the great gods who keep watch over the heavenly nymphs.”

Batara Kala

(Miguel menerjemahkan naskah Tjatur Yoga di atas ke dalam Bahasa Inggris dalam buku Island of Bali)

Itu hanya sedikit kutipan awal mengenai konsep kosmologis dalam mitologi kebudayaan masyarakat Bali yang dijelaskan dalam Island of Bali. Masih banyak hal yang membuat saya terkagum-kagum pada kearifan lokal nenek moyang masyarakat Bali. Hal-hal lainnya seperti cerita tentang masyarakat Tenganan, bagaimana masyarakat Bali mendidik dan mengasuh anak-anak mereka, bahkan sampai penjelasan ilmiah mengapa bentuk tubuh wanita Bali saat itu terkenal indah.

Saya memang belum memperdalam mengenai itu semua dan saya bukan orang Bali tentu saja. Tapi dengan membaca Island of Bali yang ditulis oleh Miguel Covarrubias dan dokumentasi foto-foto yang diabadikan Rosa Rolando, saya jadi menaruh perhatian untuk menggali lebih dalam tentang mitologi kebudayaan-kebudayaan Nusantara. Jadi, saya cuma mau menyampaikan ucapan terima kasih yang sangat tulus untuk mendiang Jose Miguel Covarrubias dan Rosa Rolando.

Hari di mana buku Island of Bali pertama kali diterbitkan pada tahun 1937 adalah titik awal masyarakat mancanegara khususnya Amerika Serikat (karena Miguel berasal dari Meksiko) menjadi terobsesi dengan Bali. Dan perlahan, hal yang ditakutkan Miguel terjadi.

— — — —

Referensi:

  1. Covarrubias, Jose Miguel. 1937. Island of Bali. Cassell and Company Limited.

2. Kastner, Caroline. 2016. The Cosmopolitan Circles of Miguel Covarrubias. Smithsonian Institution

3. Hasan, Akhmad Muawal. 2019. Miguel Covarrubias yang Membuat Amerika Serikat Terobsesi Bali. Tirto.id

--

--

Vini
Vini

Written by Vini

an attempt to untangle thoughts

No responses yet